Oleh: Herry Nurdi
Kristenisasi di berbagai kampus perguruan tinggi muncul menyeruak. Tapi seperti gunung es, kasus yang nampak sesungguhnya lebih kecil dari apa yang terjadi.
Sebut saja namanya Adam. Ia mahasiswa cerdas asal Sumatera Barat yang lulus ujian saringan masuk ke Institut Pertanian Bogor. Ia berasal dari sebuah keluarga yang sederhana. Untuk membiayai sekolahnya saja, ada banyak hal yang harus dikorbankan keluarga Adam di kampung halaman.
Di kampusnya, Adam terbilang mahasiswa yang cukup berprestasi. Sampai suatu ketika, ia terjebak dalam sebuah situasi yang membuatnya benar-benar tak berdaya. Adam terbelit urusan dengan jaringan NII yang memang diketahui banyak bermasalah. Seperti kasus-kasus yang lain, NII meminta Adam memberikan infaq dengan jumlah yang terbilang besar untuk ukurannya. Menghadapi situasi seperti ini, meminta bantuan pada orangtua di kampung halaman jelas bukan sebuah pilihan. Alhasil, Adam hanya bisa melamun dan kebingungan.
Pada kondisi seperti itu, tiba-tiba ada seorang mahasiswi Kristen yang menawarkan bantuan kepada Adam dengan segala keramahannya. Tentu saja ia menjelma bak dewa penolong di mata Adam. Tapi ujung dari pertolongan itu membuat Adam seperti terlepas dari mulut harimau, jatuh ke moncong srigala. Ia terjebak dan terkepung dalam usaha Kristenisasi yang mengincar mahasiswa di berbagai kampus.
Awalnya, sang mahasiswi Kristen tampil dengan performance penuh kasih dan penolong. Penampilan seperti itu membuat Adam sedikit demi sedikit bergeser dari simpati menjadi akrab dan tak berjarak. Singkat cerita, Adam pun pindah tempat kos ke lingkungan mahasiswa Kristen di dekat kampus IPB Darmaga, Bogor. Merasa mangsa sudah masuk dalam jebakan, usaha pun kian digalakkan. Tak hanya berpindah tempat kos, Adam bahkan sempat disekap selama lebih dari tiga bulan.
Dalam penyekapan ini, otak Adam benar-benar dicuci. Doktrin-doktrin Kristus dan Injil menjadi santapan sehari-hari. Sedangkan akidah dan ajaran Islam di benak Adam, hilang entah ke mana. Tak hanya didoktrin dan dicuci otaknya, dalam penyekapan ini pun Adam mendapat perlakuan tak senonoh dari orang-orang yang menyebut dirinya “penyelamat domba-domba”. Adam disodomi, entah berapa kali.
Selepas dari penyekapan, Adam benar-benar menjadi “manusia baru”. Ia tak hanya berpindah agama, tapi sudah menjadi penginjil yang militan. Sebagai penginjil baru, beberapa kampus sempat menjadi ladang misinya. Ia sempat menjalankan tugas di Universitas Diponegoro, Universitas Jenderal Sudirman, Surabaya, Malang dan beberapa universitas lain di Pulau Jawa.
Tapi alhamdulillah, kini Adam telah insaf. Ia mendapat hidayah Allah dan kembali pada jalan yang benar. Kini ia kembali dan menetap di kampung halaman, Sumatera Barat.
Lain Adam, lain lagi yang dialami Rahmi, juga bukan nama sebenarnya. Rahmi adalah mahasiswi tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi yang terkenal dengan pendidikan ilmu komputernya di daerah Depok. Suatu ketika, Rahmi diajak mojok oleh seorang mahasiswa Kristen yang ia kenal. Mahasiswa tersebut ngobrol dan menyediakan diri sebagai tempat curhat dan bercerita tentang masalah dan problem yang dihadapi Rahmi. Tapi lama-lama, acara curhat jadi sebuah diskusi tentang agama dan ketuhanan. “Saya lama-lama seperti dihipnotis oleh mahasiswa Kristen itu,” ujar Rahmi pada SABILI.
Pertemuan pertama dilanjut dengan beberapa pertemuan lainnya. Dan akhirnya, dibaptislah Rahmi. Proses pembaptisan itu sendiri dilakukan oleh seorang mahasiswa yang diawasi oleh seorang seniornya. Menurut Rahmi, senior tersebut bertugas memastikan sang junior tak mengalami masalah.
Setelah dianggap telah menjadi seorang Kristiani, Rahmi beberapa kali diajak untuk mengikuti kebaktian dan pembekalan. Mendengarkan ceramah dan kaset-kaset berisi lagu rohani menjadi program dari pemantapan iman yang dijalani Rahmi. Sejak itu, Rahmi menjadi asing dengan teman-temannya yang Muslim, bahkan dengan orangtuanya sendiri.
Masih menurut Rahmi, selain dirinya ada lima teman sekampus yang ia kenal telah berpindah agama. “Lima orang tersebut, termasuk saya, dibaptis oleh satu orang. Jika satu orang mampu membaptis lima orang, saya tidak bisa membayangkan berapa yang sudah mereka baptis jika mempunyai tenaga lebih dari 50 orang,” ujar Rahmi ngeri.
Seperti Adam, Rahmi telah diselamatkan Allah dan kembali memeluk Islam. Tapi sayang, tidak dengan empat orang lainnya. Menurut Rahmi, sebenarnya tidak empat orang yang ia kenal. Ia bercerita, dirinya sempat memergoki daftar nama mahasiswa Muslim yang telah menjadi target dan incaran mereka. Rahmi tak bisa menyebutkan jumlahnya. “Yang jelas banyak banget,” katanya.
Yang membuat Rahmi gerah, para pelaku pemurtadan itu seolah punya keberanian lebih yang luar biasa. “Orang yang membaptis saya hingga saat ini masih berkeliaran di kampus dengan bebasnya. Mereka berlindung di dalam organisasi keagamaan yang ada di kampus,” terang Rahmi.
Masih di Jakarta. Sebuah kampus di bilangan Senayan, Jakarta Selatan, konon disebut-sebut sebagai sasaran besar yang mahasiswanya menjadi incaran pemurtadan. Sama dengan dua nama sebelumnya, korban pemurtadan di kampus swasta yang terbilang favorit meminta SABILI untuk merahasiakan identitasnya. Sebut saja wanita berumur 26 tahun dengan nama Wati.
Kisah Wati berawal dari masalah keluarga yang ia hadapi. Saat ia menghadapi masalah di dalam keluarganya, ia membutuhkan teman untuk berbagi cerita. Seorang teman pria Wati yang dikenal sebagai seorang Katolik taat, menjadi tempat untuk bercerita. Berawal dari curhat-curhatan, lama-lama hubungan keduanya bertambah akrab. Keakraban ini membuat Wati memilih tinggal di sebuah tempat kos dekat sang pria dan tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya.
Beberapa bulan tinggal berdekatan, pria Katolik tersebut banyak mengenalkan Wati dengan teman-temannya. Mereka berdiskusi tentang agama, tentang tuhan, dan tentang doktrin-doktrin Katolik. Akhirnya, pendek kata, Wati jadi hidup serumah dengan sang pria. Layaknya suami-istri, itulah kehidupan baru yang dijalani Wati.
Selama proses tersebut, tak sedikitpun Wati memberi kabar keberadaannya pada orangtua. Wati menjalani proses bina iman, yang disebut dengan Katekis di sebuah gereja di daerah Slipi. Akhir dari semua proses tersebut, 8 Maret 2002 silam, Wati menemui orangtuanya yang tinggal di bilangan Tebet, Jakarta Selatan untuk meminta izin nikah dan pindah agama. Sang ibu tentu saja shock berat mendengar itu semua dan tak menyetujui niat Wati.
Akhir Oktober tahun lalu, Wati dibaptis dan dinikahkan dalam keadaan hamil di paroki tempatnya dibina. Bahkan menurut pengakuan Wati, kini ia menjalani proses menjadi penginjil untuk mencari domba-domba yang hilang. Selain kasus Wati, ada dua kasus lain di kampus yang sama yang terlacak oleh Tim SABILI. Keduanya menimpa dua orang Muslimah belia yang baru berusia 23 tahun. Satu di antaranya bahkan sempat hilang diculik dan dimurtadkan.
Satu lagi kasus yang lebih mengerikan menimpa keluarga Dwi Suryo di Lampung. Yoppi Aryana, anak gadis yang sedang tumbuh dan berkembang, digarap oleh pelaku Kristenisasi dengan keji saat ia berkuliah di Universitas Lampung. Bak cerita dalam novel-novel detektif, sempat terjadi baku culik antara orangtua Yoppi dan pelaku Kristenisasi yang tampaknya telah mempunyai jaringan yang rapi. Kini Yoppi telah hilang, ditelan monster pemurtadan yang mengerikan. (baca: Hilang Dicaplok Monster)
Mari kita beralih ke Bandung. Berbagai kampus yang tersebar di Kota Kembang ini disebut-sebut menjadi garapan serius para misionaris dan penginjil busuk. Satu di antara yang berhasil SABILI temukan adalah pemurtadan di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI dulu IKIP, red).
Kasus yang terjadi di UPI mencerminkan bahwa gerakan Kristenisasi yang menyerbu kampus-kampus ini memang terorganisir dengan rapi. Cerita ini terkuak agak terlambat, karena beberapa mahasiswa dan mahasiswi di Fakultas Teknik dan Bahasa yang tadinya berjilbab dan menutup aurat tiba-tiba murtad.
Beberapa waktu sebelum peristiwa itu terjadi, ada beberapa orang yang berpenampilan layaknya seorang Muslim bertandang ke kampus dan melakukan dialog. Yang pria mengenakan baju koko, bahkan yang perempuan mengenakan jilbab rapi menutupi auratnya. Salah satu di antara mereka mengaku telah bersyahadat dan disaksikan oleh KH. Miftah Faridl di Pusat Dakwah Indonesia. Ia mengaku mahasiswa lulusan Oxford, Harvard dan beberapa perguruan tinggi terkemuka bertaraf internasional.
Menurut salah seorang sumber SABILI di UPI, orang-orang seperti mereka melaksanakan aksinya dengan mendekati mahasiswa-mahasiswi dan mengajak mereka berdiskusi. Dengan penampilan sebagai seorang Muslim yang mengaku muallaf dan bercerita tentang suka dukanya memeluk Islam, orang-orang seperti ini langsung mendapat simpati. Simpati yang mereka dapat lalu dimanfaatkan sebagai pintu masuk lebih jauh mendekati para mahasiswa.
“Awalnya mereka mengajak diskusi tentang Ka’bah. Kenapa Ka’bah itu disembah? Bukankah sama dengan berhala kalau menyembah Ka’bah? Lalu diskusi pelan-pelan dialihkan menjadi pembahasan tentang Yesus dan sebagainya,” ujar sumber SABILI.
Pelaku permutadan di UPI tersebut sebenarnya sempat ditangkap dan diinterograsi oleh para aktivis dakwah kampus. Tapi ia akhirnya berhasil meloloskan diri dan tak pernah nongol lagi. Beberapa aktivis sempat melacak orang yang mengaku bernama Daniele Andrian Pangestu alias Salman Al Farisi ini. Kabar terakhir yang didapat, ia telah mendekam di dalam sel kepolisian wilayah Cianjur. Konon ia tersangkut masalah penipuan dan menjadi polisi gadungan.
Beberapa kampus lain di Bandung yang diindikasikan terjadi kasus pemurtadakan adalah ITB, STPDN dan STT Telkom. Untuk mengantisipasi kegiatan pemurtadan yang sudah pada tingkat meresahkan di kalangan mahasiswa ini, beberapa aktivis dakwah kampus akhir Maret lalu membentuk sebuah organisasi. Organisasi tersebut bernama JAMAAT atau Jaringan Mahasiswa Anti Pemurtadan yang dideklarasikan di STPDN, 30 Maret 2003.
Penelusuran yang dilakukan SABILI, selain gerakan yang bersifat perorangan ada dua organisasi yang berada di balik aksi pemurtadan di kampus. Organisasi pertama disebut PERKANTAS (Persekutuan Antar Universitas). Yang kedua, LPMI (Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia).
PERKANTAS nyaris tak bisa terdeteksi, selain karena gerakan mereka bersifat di bawah tanah alamat yang digunakan pun hanya Po. Box belaka. Sementara itu, LPMI disebut-sebut bernaung di bawah nama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Namun, Pdt. Natan Setiabudi, Ketua PGI menolak keras LPMI berada di bawah organisasinya. “Kami tidak mengenal LSM itu sama sekali,” terangnya pada SABILI.
Ia juga menerangkan, tak bisa memberikan komentar tentang kasus Kristenisasi yang marak terjadi di kampus. “Bagi saya, informasi itu tidak jelas dan akan semakin menjauhkan kita dari fakta yang sebenarnya jika dibahas. Informasi itu kurang menarik,” ujarnya. Natan menambahkan, karena LPMI tak bersangkut-paut dengan lembaga yang dipimpinnya, maka PGI juga tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan oleh LPMI.
Jika Natan dalam jawabannya mengisyaratkan tak ada gerakan Kristenisasi di berbagai kampus, dan menganggap informasi tersebut tak menarik maka berbeda dengan yang diungkapkan Ustadz Abu Deedat. Kristolog yang aktif menangkal gerakan Kristenisasi ini mengatakan ada gerakan sistematis yang mengancam mahasiswa Muslim di kampus-kampus seluruh nusantara. “Dari kasus-kasus yang saya tangani, mencerminkan gerakan mereka terstruktur dan terorganisir dengan rapi. Hampir di seluruh universitas di Indonesia, baik swasta maupun negeri, terjadi aksi Kristenisasi,” ujar Abu Deedat.
Kampus dengan kasus Kristenisasi yang saat ini sedang ditangani oleh Ustadz Abu Deedat adalah: Universitas Diponegoro di Semarang, Universitas Jenderal Sudirman di Purwokerto, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, ITB, STT Telkom dan STPDN di Bandung. Bahkan menurut Ust. Abud, demikian ia akrab dipanggil, STPDN tergolong sekolah tinggi dengan angka terbesar kasus Kristenisasi di kota Bandung. Selain universitas di Pulau Jawa, ia juga menangani kasus Kristenisasi di Universitas Andalas, Universitas Lampung dan masih banyak lagi.
Menurut Taufiqurohman, salah seorang aktivis FAKTA (Forum Anti Gerakan Pemurtadan) selama ini korban-korban pemurtadan banyak yang terjadi di kampus universitas-universitas swasta. “Di banding dengan perguruan tinggi dan universitas negeri, universitas swasta sepertinya lebih banyak menjadi sasaran aksi Kristenisasi,” terang Taufiqurohman.
Taufiqurohman menambahkan, kasus-kasus yang saat ini muncul dan bisa dideteksi oleh publik sebenarnya adalah fenomena gunung es. “Kasus yang tidak diketahui, sebenarnya jauh lebih besar lagi. Belum lagi ditambah dengan jumlah orang-orang tidak merasa bahwa dirinya korban pemurtadan,” tuturnya. Yang dimaksud korban yang tak merasa jadi korban oleh Taufiqurohman adalah, mereka yang tak menganggap lunturnya akidah atau kawin beda agama sebagai hal yang berbahaya.
Gerakan pemurtadan ini benar-benar tak pandang bulu. Tak hanya di sekolah dan perguruan tinggi umum yang menjadi incaran aksi Kristenisasi. Sekolah-sekolah tinggi Islam seperti IAIN dan Unisba di Bandung pun telah menjadi ladang yang mereka garap pula.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia, Ichwan Sam mengatakan, ada pihak-pihak yang telah bermain kayu dan melanggar hukum yang berlaku. “Tapi mereka itu selalu berkelit dan berlindung di bawah hukum internasional yang mengatakan menyebarkan agama dan berpindah agama adalah bagian dari hak asasi manusia,” tandas Ichwan.
Lebih lanjut Ichwan Sam mengatakan, hal mendasar yang harus dilakukan oleh umat Islam adalah membentengi diri sekuat-kuatnya. “Keluarga harus menjadi gerbang pertama pertahanan akidah dan pemahaman Islam kita. Keluarga harus menjadi benteng utama mempertahankan akidah. Setiap anggota keluarga, wajib menjaga anggota keluarganya yang lain dari bahaya yang mengancam akidah,” ujar Ichwan geram.
Ichwan Sam memperingatkan, gerakan-gerakan seperti ini akan terus ada dan selalu mengancam. “Karena itu, keluarga Muslim harus senantiasa waspada,” pesannya.
Ya, aksi Kristenisasi dan gerakan pemurtadan akan selalu ada dan mengancam kita sepanjang zaman. Upaya-upaya menjauhkan Muslim dari ajaran Islam akan terus dilancarkan oleh musuh-musuh Allah. Dan untuk insan kampus, sebentar lagi tahun ajaran baru akan dimulai. Tahun ajaran baru berarti mahasiswa baru. Mahasiswa baru sama dengan mangsa baru untuk mereka. Waspadalah! (sabili)
Sumber : http://cianjurkoe.blogspot.com/

kenapa takut dengan kristenisasi???
BalasHapuskalau iman kita kuat terhadap agama kita,kita nggak perlu resah,,
Boong tuch,,,Berlebihan beritanya,,,,
BalasHapustakut pengikut islam berubah iman? kenapa kita harus berpindah iman? bukankah muhammad adalah jalan, kebenaran dan hidup?
BalasHapusblognya keren nih..
BalasHapusikut baca2 yg terbaru,.
Salam kenal dari BLOG HEBOH..
Ngomong2 mohon doa dukungan supaya saya sukses dan lulus UAN.. Amin..
Oh iya silahkan berkunjung ke BLOG HEBOH dan silahkan berkomentar sebanyak-banyaknya biar dapet banyak backlink,kbetulan juga BLOG HEBOH udah ber-PageRank 1..
Salam sukses!!
berita Hoax Lagi. Parah bangetttt
BalasHapus